Selasa, 29 Maret 2011

LISTRIK TENAGA MATAHARI....

Pembangkit Listrik Tenaga Surya: Memecah Kebuntuan Kebutuhan Energi Nasional dan Dampak Pencemaran Lingkungan

Ditulis oleh Teguh Priyambodo pada 12-10-2007
Beberapa tahun belakangan ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) kita gencar mensosialisasikan program hemat listrik dari pukul 17.00 hingga 22.00. Alasan PLN melakukan ini adalah untuk efisiensi energi terutama dalam menghadapi beban puncak pada jam tersebut. Oleh karena itu masalah peningkatan konsumsi energi nasional ini harus segera dipecahkan. Perlu kita pahami, kebutuhan energi global dalam 30 tahun ke depan akan meningkat dua kali lipat per tahunnya. Pada 40 tahun mendatang, kebutuhan meningkat lagi menjadi tiga kali lipat atau setara dengan energi 20 miliar ton minyak bumi. Memang selama ini menurut Energy Information Administration (EIA) memperkirakan pemakaian energi hingga tahun 2025 masih didominasi bahan bakar fosil, yakni minyak bumi, gas alam, dan batubara. Permasalahannya yaitu menurut data Departemen ESDM juga menyebutkan, cadangan minyak bumi di Indonesia hanya cukup untuk 18 tahun kedepan, sedangkan gas bumi masih bisa mencukupi hingga 61 tahun lagi. Kemudian cadangan batubara diperkirakan habis dalam waktu 147 tahun lagi.

Energi alternatif

Salah satu langkah konkrit PLN yang akan diwujudkan hingga tahun 2009 adalah dengan membangun proyek PLTU 10.000 MW. Mungkin beberapa alasan memilih solusi ini karena selama ini kebutuhan listrik Negara 30 % disumbang oleh PLTU Suralaya yang berbahan baku batubara dan seperti yang dikemukakan diatas bahwa cadangan batubara nasional cukup tinggi. Permasalahannya adalah sumber utama penghasil emisi karbondioksida secara global, yaitu pembangkit listrik bertenaga batubara. Pembangkit listrik ini membuang energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan. Semisal, energi yang digunakan 100 unit, sementara energi yang dihasilkan 35 unit. Maka, energi yang terbuang adalah 65 unit! Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton karbondioksida per tahun yang merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab global warming.

Selanjutnya apabila kita menggunakan bahan bakar gas, memang relatif murah dan ramah lingkungan. Namun cadangan gas bumi kita terbatas. Belum lagi persaingan dengan konsumsi publik karena PT. Pertamina saat ini melakukan program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas. Jelas hal ini merupakan dua hal yang kompetitif.

Selain itu ada juga pemanfaatan energi panas bumi bisa menjadi alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Tetapi pemanfaatan energi panas bumi tidak bisa maksimal karena persediaannya sangat terbatas dan teknologi untuk mengelolanya dianggap mahal. Bagaimana dengan energi tenaga air? Energi ini termasuk yang paling murah untuk dimanfaatkan. Namun, kendala yang kerap terjadi adalah ketika musim kemarau tiba. Sumber-sumber air yang digunakan sebagai pembangkit seringkali menyurut dan jauh berkurang sehingga tidak dapat beroperasi secara optimal.

Selanjutnya bagaimana dengan teknologi nuklir? Mungkin secara teknologi bangsa kita sudah bisa mampu. Namun sejarah mengenai kasus teknologi ini di Uni Soviet maupun tragedi Hiroshima dan Nagasaki menjadi trauma bagi dunia pada umumnya. Tentunya permasalahannya adalah waktu sosialisasi yang cukup lama terhadap penanganan resiko dari teknologi ini.

Sebagai salah satu solusi masalah energi diatas yaitu energi matahari atau tenaga surya. Energi matahari yang dipancarkan ke planet bumi adalah 15.000 kali lebih besar dibandingkan dengan penggunaan energi global dan 100 kali lebih besar dibandingkan dengan cadangan batubara, gas, dan minyak bumi. Permasalahan energi matahari ini mungkin sedikit banyak mirip dengan energi nuklir. Sebenarnya secara teknologi bangsa Indonesia sudah mampu mengelolanya. Bahkan teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10-20 % pancaran sinar matahari menjadi tenaga surya. Secara teoritis untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari satu persen permukaan bumi, bukankah suatu hal yang efisien!

Namun sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa bumi sehingga memiliki energi sinar matahari berlimpah tidak dapat memanfaatkannya secara baik. Pemanfaatan energi matahari selama ini baru digunakan sebagai pemanas air di rumah-rumah mewah maupun hotel, itupun masih produk impor. Padahal, di negara-negara Eropa utara yang relatif miskin sinar matahari, justru banyak memanfaatkan energi matahari sebagai energi terbaharukan, ramah lingkungan, dan murah. Bagaimana dengan bangsa Indonesia?

Pertimbangan Ekonomi

Mungkin kita pernah kaget karena harga minyak bumi yang terus melambung sempat menembus angkan US$ 76 per barel sehingga menyebabkan pembengkakan anggaran dan menekan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu pemanfaatan energi matahari merupakan solusi yang ekonomis. Jika ada pendapat bahwa pemanfaatan energi matahari memerlukan biaya tinggi, itu merupakan pendapat yang perlu dipertanyakan. Perlu diakui bahwa untuk investasi awal cukup mahal. Namun dalam biaya operasionalnya terbilang murah ketimbang pemanfaatan energi gas bumi maupun batubara. Justru kita mendapatkan bahan bakunya secara gratis!

Negara kita setiap tahunnya menadapat energi matahari sebesar 2.500 kW per jam-nya (sumber lainnya mengatakan bumi secara tak henti disinari energi sebesar 17 triliun kW). Jelas ini merupakan potensi. Mengutip tulisan dari Ivan A. Hadar dari Infid, energi matahari dapat dimanfaatkan secara solar thermal dan photogalvanic. Pada prinsipnya solar thermal yaitu sinar matahari diperkuat cermin yang mengalihkan ke alat penyerap berisi cairan. Cairan ini kemudian memanas dan menghasilkan uap yang membangkitkan generator turbo pembangkit tenaga listrik. Di California, AS, alat ini telah mampu menghasilkan listrik sebesar 354 MW. Dengan memproduksinya secara massal, harga satuan energi matahari ini di AS, hanya sekitar Rp 100.000 per kW per jam-nya. Hal ini tentu lebih murah ketimbang energi nuklir dan sama dengan energi dari pembangkit listrik berbahan baku fosil.

Sedangkan pembangkit listrik photogalvanic, pengunaannya menggunakan sel-sel photogalvanic. Sebagai akibat sengatan sinar matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan dampak terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam bentuk modul dan dapat digunakan pada teknologi tegangan tinggi. Memang untuk saat ini modulnya terbilang cukup mahal. Namun perkembangan kedepannya diperkirakan harga akan menurun. Sebab salah satu pasarnya adalah mobil tenaga listrik yang diramalkan akan menjadi mobil masa depan.

Lalu apa solusinya?

Berdasarkan uraian diatas, hendaknya pemerintah lebih proaktif untuk mencari sumber energi baru dan terbaharukan. Ada beberapa langkah yang dapat menjadi bahan pemikiran kita bersama. Pertama, diversifikasi penelitian dan pengembangan energi matahari. Dana untuk penelitian dan pengembangan energi alternatif perlu ditingkatkan tiap tahunnya. Kedua, dengan perkembangan teknologi, khususnya biaya produksi energi surya dapat bersaing dengan energi fosil. Ketiga, kemauan politik dari semua pihak harus tinggi. Sehingga apabila dilakukan produksi energi matahari secara masal, maka sumber energi ini tereksplorasi sebagai energi utama di masa depan.

Yang pasti, kedepannya kita tidak akan meninggalkan krisis energi bagi anak cucu bangsa Indonesia. Justru mewariskan teknolgi masa depan yang mutakhir. Teknologi yang murah, ramah lingkungan dan efisien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar